What do you call a person who speaks three languages? Trilingual. Two languages? Bilingual. One language? American.
Lelucon di Newsweek
ADA laporan menarik di surat kabar Inggris The Guardian belum lama ini. Dalam edisi 14 Juli 2014, surat kabar tersebut melaporkan bahwa rendahnya ketrampilan berbahasa asing telah menyebabkan kerugian besar bagi ekonomi dan bisnis negeri tersebut.
“Ekonomi Inggris akan terpukul dan anak-anak muda Inggris tidak akan mampu bersaing untuk memperoleh pekerjaan secara internasional kecuali rendahnya ketrampilan berbahasa asing warga negeri ini diperbaiki,” kata laporan parlemen, yang menyerukan dilancarkannya “manifesto bahasa.”
Laporan All Party Parliamentary Group (APPG) tersebut juga mendesak semua partai politik membuat komitmen dalam manifesto mereka pada pemilu tahun depan untuk memperbaiki ketrampilan berbahasa asing para siswa dan mahasiswa Inggris.
Laporan itu juga menunjuk rendahnya jumlah mahasiswa Inggris yang mengikuti kuliah bahasa asing. Sejak tahun 2000, sekitar 44 universitas bahkan telah menutup jurusan bahasa asing. Suratkabar lainnya, The Observer, melaporkan bahwa Menlu Inggris William Hague pernah mengundang sejumlah profesor bahasa ke Kemlu Inggris dan memberitahu tentang menurunnya reputasi Inggris dalam diplomasi. Penyebabnya adalah rendahnya ketrampilan bahasa warga Inggris.
Seorang profesor yang menghadiri pertemuan tersebut mengatakan:” Dia berterus terang. Dia memberi tahu kami sangat mendesaknya Inggris memperbaiki kemampuan bahasanya, termasuk bahasa-bahasa asing.”
Di Amerika Serikat, keluhan tentang rendahnya kemampuan bahasa asing warga negeri itu juga semakin marak. Para ahli memperkirakan, hanya sekitar 15-20 persen warga Amerika mengaku menguasai dua bahasa, sementara menurut survei Komisi Eropa pada 2006 sekitar 56 persen warga Eropa berdwibahasa.
Profesor bahasa Arab Mahmoud Al- Batal yang dikutip The Daily Texan mengatakan, ketidakmampuan berbicara bahasa asing membuat sulit warga Amerika bersaing secara global di tingkat bahasa dan budaya. Sementara pengritik menyebutkan, warga Amerika sering mulai belajar bahasa asing saat sudah kuliah di perguruan tinggi sehingga kemampuannya terbatas.
Tentang pentingnya ketrampilan berbahasa asing ini, Presiden Barack Obama pernah menekankan hal tersebut di Balai Kota Atkinson, Illinois. Obama mengatakan, kemampuan bahasa asing akan membuat seseorang lebih mudah cari kerja. “Karena jika Anda pergi ke sebuah perusahaan dan mereka berbisnis di Prancis atau Belgia, Swiss, atau negara lain di Eropa, dan mereka tahu Anda punya ketrampilan berbahasa mereka, itu akan menjadi penting. Dan kita belum melakukan yang seharusnya. Kita belum menekankan yang seharusnya bisa kita capai di Amerika Serikat,” kata Obama.
Dalam sebuah forum lainnya, Presiden Obama mengatakan, para guru dan orangtua murid harus menekankan bahasa-bahasa asing di sekolah-sekolah kita sejak usia dini. “Karena anak-anak akan lebih mudah belajar bahasa asing di saat usia 5, atau 6, atau 7 tahun dibanding bila mereka sudah berusia 46 tahun seperti saya,” kata Obama pula.
Orang Amerika memang mempunyai reputasi buta huruf global. Sekarang sudah relatif membaik, seperti disinggung di atas, bahwa 15-20 persen warga AS dapat berbahasa asing.
Di awal 1980-an, lebih rendah lagi. Hanya satu di antara 10 orang yang dapat berbicara bahasa asing. Ini dapat dilacak dari sekolah di AS. Saat itu, setidaknya 20% sekolah menengah tidak mengajarkan bahasa asing. Akibatnya, kurang dari 3% lulusan sekolah menengah yang memperoleh penguasaan bahasa asing secara memadai.
Akibat dari keadaan buta huruf global itu pun menimbulkan hal-hal yang memalukan. Misalnya, ketika Presiden Carter berkunjung ke Polandia pada 1977, seorang penerjemahnya (orang Amerika) menerjemahkan sambutan secara salah menjadi ‘kehendak rakyat Polandia secara badaniah ‘. Pernah pula slogan ‘Come Alive With Pepsi’ muncul di sebuah iklan suratkabar Taiwan dalam bunyi ‘Pepsi membangunkan nenek moyang Anda dari dalam kubur.’
Di Tiongkok, para pejabat dulu sering mengernyitkan dahi bila bertemu dengan tamu penting dari Amerika. Seringkali si tamu itu mengatakan ‘jiu yang’ ( yang artinya ‘saya telah mendengar nama Anda yang dihormati’. Tetapi karena si tamu mengatakan ‘jiang you’ artinya pun jadi ‘saus kacang kedelai’!
Hal-hal konyol seperti itu boleh jadi sudah jarang terjadi karena meningkatnya kesadaran orang-orang Amerika tentang pentingnya bahasa asing sebagi mereka. Para diplomat Amerika yang menguasai bahasa-bahasa asing semakin banyak. Sebagian bahkan sangat antusias dalam mempelajari dan mempraktikkan kemampuan bahasa asing mereka.
Bagaimana di Indonesia? Pada awal 1980-an, Prof E. Sadtono, PhD dari IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) menyebutkan bahwa kemampuan bahasa Inggris para dosen di Indonesia saja termasuk sangat rendah. Sekarang keadaannya tampak membaik.
Dosen-dosen muda dan sarjana lulusan perguruan tinggi lainnya yang fasih berbahasa asing banyak di sekitar kita. Tidak sedikit pula anak-anak muda lainnya yang memiliki kemampuan multibahasa alias poliglot.
Di Ambon ada Gayatri Weilisa, anak SMA dengan menguasai 13 bahasa secara otodidak. Di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta, ada Choirun Nisa, yang fasih setidaknya 10 bahasa. Di beberapa kota negeri ini, Komunitas Polyglot Indonesia (KPI) sering berkumpul untuk meningkatkan dan merawat kemampuan bahasa mereka.
Mereka belajar bahasa tidak hanya untuk mencari pekerjaan. Mereka adalah juga para promotor yang berupaya membatasi buta huruf global di negeri ini. Mereka juga menyebarkan benih-benih multikulturalisme, toleransi, dan humanisme lewat pembelajaran beragam bahasa dan budaya.
Seperti dikatakan Drs RMP Sosrokartono, tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang menguasai 24 bahasa, belajar bahasa adalah berarti belajar bangsa. Belajar ikut susah dan mengasah kemanusiaan.
DJOKO PITONO ([email protected])
Editor buku, fasilitator Indonesia Menulis.
Tulisan dipublikasikan di RADAR SURABAYA
MINGGU, 19 OKTOBER 2014, halaman 7
Be the first to comment on "Belajar Bahasa Asing – Mencegah Buta Huruf Global"