Bahasa merupakan sarana bagi berlangsungnya transformasi pemahaman dari “orang pertama tunggal” kepada komunikannya atau sebaliknya. Dilukiskan bahwa ketika kerja bahasa berlangsung di situ sesungguhnya terbentang jarak yang sedang diatasi di antara dua kutub atau lebih. Bahasa tampil sebagai aktualisasi dan perayaan terhadap “kebersamaan di antara aku-engkau” dalam pemahamannya yang luas dan majemuk.
Karena menyangkut pihak-pihak lain dengan kapasitas yang beraneka ragam, bahasa tentu saja dengan sendirinya memiliki lapis-lapis dengan nilai dan urgensi yang berbeda-beda pula. Mulai yang paling wadag dan permukaan, hingga yang paling subtil dan mendalam. Mulai yang paling minus nilai sampai yang paling tidak terhingga pemahamannya. Mulai yang gaduh dengan huruf dan suara hingga yang senyap dari kehadiran huruf dan suara.
Bagi siapa saja yang telah dianugerahi kesanggupan untuk mengunyah manik-manik pemahaman dari komunikannya tanpa keterlibatan jejal-jejal huruf dan suara, sebenarnya apakah peran dan arti bahasa lewat media keduanya? Secara pragmatik, fungsi kedua entitas itu kemudian menjadi gugur. Bahasa lalu merayap secepat mungkin ke sebuah halimun yang tidak tersentuh oleh ingar-bingar huruf dan suara. Hal yang demikian sering terjadi di antara para aulia, para kekasih Allah SWT.
Pernah suatu saat Syaikh Muhyiddin ibn ‘Arabi yang dikenal dengan sebutan asy-Syaikhul Akbar bertemu Syaikh Suhrawardi al-Maqtul. Sekitar satu jam keduanya sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Lalu keduanya berpisah tanpa juga saling bertukar huruf lewat tulisan sebagai sarana komunikasi. Setelah pertemuan itu, ditanyakan kepada ibn ‘Arabi tentang Suhrawardi, beliau menjawab, “Dari ujung rambut hingga ujung kakinya, yang kutemukan tidak lain adalah keteladanan Rasulullah saw.”
Juga ditanyakan kepada Suhrawardi tentang ibn ‘Arabi, beliau bertutur, “Yang kutemukan adalah samudra ilmu Allah SWT yang karena saking begitu dalam dan luasnya sampai tidak tampak dasar dan tepinya.”
Dua jawaban dari masing-masing sufi itu tidak hanya mengandaikan telah berlangsungnya komunikasi yang sangat padat di luar gorong-gorong bahasa yang verbal sebagaimana umumnya bahasa orang kebanyakan, tetapi juga merupakan indikasi bahwa penglihatan batin (bashirah) mereka sedemikian cepat dan cermat dalam memotret pihak-pihak lain, termasuk pula menelisik dimensi-dimensi terdalam dan paling rahasia dari kehidupan seseorang.
Dalam komunikasi yang begitu akseleratif dan berlangsung secara laten seperti di atas, hampir saja logika yang terpakai di situ adalah “kau adalah aku dan aku adalah kau.” Tentu saja tidak sepenuhnya lebur atau bersenyawa secara mutlak sehingga hilang segala batas dan lenyap segala warna. Tetapi, ketika demarkasi yang sangat dekat itu ditekuk satu jengkal lagi oleh transendensi dan kekuatan cinta, adanya “kekaburan” di antara dua entitas akan menjadi semakin nyata. Itulah yang pernah dialami sufi agung, Syaikh Husen bin Manshur al-Hallaj (wafat 922 M), ketika menghablurkan seluruh kegempalan dan keutuhan cintanya terhadap Allah SWT sebagai Mahakekasih satu-satunya: “Adnaytani minka hatta zhanantu annaka anni, Kau dekatkan diriku kepada-Mu sehingga aku menyangka bahwa sesungguhnya Kau tak lain adalah aku.”
Pengalaman spiritual yang tecermin lewat ungkapan puitik di atas menunjukkan dengan gamblang kepada kita bahwa maju dan mundurnya nilai bahasa tidaklah terutama ditentukan oleh pengaruh akal pikiran sebagaimana yang ditengarai kebanyakan tokoh dari kalangan para ahli bahasa, tetapi murni sepenuhnya ditentukan dan dikendalikan oleh aktivitas roh yang merupakan sumber utama bagi segala keluhuran dan kemuliaan manusia.
Tugas akal pikiran manusia adalah melakukan kalkulasi dan pemotretan terhadap hal-ihwal yang salah dan benar, terhadap segala perkara yang serasi dan rancu, terhadap segala yang baik dan buruk. Sementara roh, selain sanggup menjangkau kawasan pasangan-pasangan nilai yang merupakan medan ”garapan” akal pikiran di atas, juga mampu meletupkan energi paling dahsyat dan suci yang oleh orang-orang sufi biasanya disebut dengan istilah kerinduan dan cinta: sebentuk kobaran energi teramat kudus yang memiliki watak untuk selalu melesat secepat mungkin menuju “tempat” kekasih tinggal.
Ketika si pencinta secara hakiki berhadap-hadapan dengan kekasihnya, keduanya saling menjadi cermin antara yang satu dan yang lain: si pencinta menemukan potret dirinya yang hidup pada kekasihnya, sedangkan si kekasih memandang dirinya terbelah menjadi dua. Benar-benar duakah secara realitas atau hakikatnya satu? Ternyata kemenduaan itu tak lebih seperti sebuah pohon rindang dengan bayang-bayangnya sendiri ketika matahari yang mulai condong ke arah barat menyemprongkan sinarnya yang tegas sekaligus bersahaja terhadap pohon tersebut.
Dalam konteks kemajuan rohani yang seperti itu, segala dialog yang berlangsung di antara keduanya sungguh tidak lebih dari ”kepura-puraan” semata. Ciri-ciri di�alog yang dicitrakan sebagai persilangan kayu-kayu bakar di dalam tungku yang menyala sama sekali senyap di situ. Sungguh, sejatinya yang sedang berlangsung di sana adalah ”monolog” yang gemuruh, renyah, dan penuh kehangatan.
Wallahu a’lamu bish shawab. (*)
Kuswaidi Syafiie
Penyair, juga pengasuh PP Maulana Rumi, Bantul, Jogjakarta
Tulisan dimuat di JawaPos, 25/08/13
Be the first to comment on "Bahasa sebagai Kabel Rohani"